26 November 2009
Hadianto Wirajuda dan Diaz Hendropriyono
Secara geopolitik, Indonesia dikelilingi oleh beberapa negara besar dan kuat. Di bagian utara, terdapat Tiongkok, dengan status ekonomi terbesar ketiga di dunia, dengan pertumbuhan diprediksi melampaui 10% pada akhir tahun ini. Di bagian barat laut, terdapat India, negara nuklir dengan kekuatan militer yang sangat besar dan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
Sedikit di bawah Indonesia ada Australia, middle power, yang dikategorikan oleh IMF sebagai advanced economy. Beberapa kota besar di negara itu mendapat julukan sebagai most liveable cities di dunia. Merujuk pada kapasitas yang kita miliki, apakah masih ada harapan dan optimisme bagi Indonesia untuk dapat menjadi negara adidaya?
Dalam bukunya yang berjudul Indonesia's Foreign Policy Under Suharto, Leo Suryadinata (1996), mengemukakan beberapa faktor yang menguatkan kredibilitas Indonesia di forum internasional. Pertama, secara geografis, Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN. Secara demografis, Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia, setelah Tiongkok, India, dan AS. Kedua, Indonesia merupakan emerging economy di Asia dan mendapat sebutan "Macan Asia." Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu sekitar 7% per tahun dan jika bukan karena krisis finansial pada 1997-1999, ekonomi Indonesia mungkin akan jauh lebih baik. Ketiga, kekuatan militer Indonesia merupakan yang terkuat di bagian tenggara (southeast) Asia. Berbagai kapasitas tersebut merupakan regional entitlement bagi Indonesia, sebagaimana diutarakan oleh Michael Leifer, profesor ternama ilmu hubungan internasional.
Era Soeharto telah berlalu. Sekarang, kita berada pada era yang baru. Sebuah era yang menuntut kemakmuran ekonomi dan kebebasan politik berjalan berdampingan; era yang menuntut kepemimpinan yang kuat dan tidak hanya bersandar pada besaran geografis negara; era yang menuntut toleransi terhadap perbedaan pendapat dan keyakinan di masyarakat. Secara geografis dan demografis, negara kita tidak banyak berubah sejak zaman Orde Baru. Indonesia masih merupakan salah satu negara terpadat di dunia dan yang terbesar di ASEAN.
Sekitar 230 juta dari 570 juta penduduk ASEAN tinggal di Indonesia. Secara ekonomi, ketahanan bangsa kita dalam menghadapi krisis finansial, saat ini, menempatkan Indonesia sebagai satu-satunya negara dari Asia Tenggara sebagai peserta forum ekonomi bergengsi dunia, G-20.
Percaya Diri
Dari persepsi politik, Indonesia merupakan pendukung kuat perkembangan politik di ASEAN. Seperti kita ketahui, forum ASEAN selama ini lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dibandingkan perkembangan politik. Ini bukanlah suatu keanehan, bahwa ASEAN, tidak seperti Uni Eropa, berintikan negara-negara dengan sistem politik yang tidak seragam. Ada junta militer hingga demokrasi penuh.
Berkaca dari kenyataan tersebut, tidaklah mudah untuk mempromosikan kebebasan politik dalam konteks ini. Tetapi, perkembangan demokrasi yang sehat, sejak 1999, telah menyuntikkan rasa percaya diri Indonesia untuk mempromosikan signifikansi kebebasan berpolitik melalui Bali Concord II pada tahun 2003. Inisiatif yang disebut sebagai ASEAN political development, bukan democratization, ini pada akhirnya berhasil dimaktubkan dalam ASEAN Charter yang mulai berlaku pada Desember 2008.
Terlepas dari perdebatan apakah Indonesia harus meratifikasi piagam tersebut mengingat masih banyak ruang kosong yang harus diperbaiki, Indonesia tetap bersikeras mendukung inisiatif tersebut. Hal ini didasarkan pada kenyataan, tanpa sebuah piagam yang mengikat semua, ASEAN tetap akan menjadi organisasi yang longgar, yang akan dapat mengurangi komitmen negara-negara anggotanya dalam upaya pengembangan demokrasi di kawasan.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk mengingat posisi Indonesia sebagai pihak yang pernah menolak nilai-nilai demokrasi Barat, karena dianggap bertentangan dengan Asian values.
Kapasitas lainnya mencakup status Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India, dan negara Islam terbesar di dunia. Indonesia adalah tempat di mana Islam, modernitas dan demokrasi dapat tumbuh kembang secara bersama-sama. Namun, Indonesia juga masih harus menghadapi beberapa tantangan. Termasuk di dalamnya adalah konflik horizontal di kalangan masyarakat. Tetapi, hal ini jangan sampai menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap dominasi fundamentalisme di Indonesia, sehingga dapat mengancam karakter ketoleransian bangsa ini.
Seperti dikemukakan oleh Ramage dan MacIntyre dalam laporan ASPI, berjudul Seeing Indonesia as a Normal Country, ketakutan akan fundamentalisme dan antipluralisme di Indonesia adalah keliru karena mayoritas masyarakat Muslim Indonesia adalah kaum moderat. Di samping itu, kita juga harus ingat bahwa tidak satu pun negara di dunia ini yang dapat dijadikan model sebagai demokrasi yang sempurna. Bahkan, di AS sekalipun, konflik kesukuan dan ras masih terjadi.
Di samping itu, korupsi masih merupakan masalah untuk Indonesia. Berdasarkan laporan dari Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih setara dengan negara korup seperti Ethiopia dan Uganda. Tetapi, kesuksekan kita dalam memberantas korupsi telah memperbaiki indeks tersebut sebanyak 37% sejak 2002. Namun, kekisruhan kepastian hukum, yang terjadi saat ini, jelas menuntut ketegasan pemerintah agar tidak berlarut-larut, yang mana dikhawatirkan dapat memengaruhi tingkat kepuasan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Kebebasan Berbicara
Dalam hal kebebasan berbicara, Reporters Without Borders (RWB), sebuah organisasi nonpemerintah internasional yang fokusnya pada kebebasan pers dan advokasi jurnalis, melaporkan bahwa kebebasan tersebut menurun sejak 2002 (peringkat 57), membuat kita setingkat dengan Guinea dan Mauritania, di mana kebebasan bicara tidak begitu dijamin. Pada Feburari 2008, misalnya, Bersihar Lubis, editor Koran Tempo, harus berhadapan dengan tuntutan hukum karena mengutip sebuah pendapat seorang tokoh yang kemudian diinterpretasikan pendapat tersebut sebagai penghinaan terhadap sebuah institusi hukum di Indonesia. Akan tetapi, ranking Indonesia mengalami perbaikan dari posisi 111 ke posisi 100 setahun terakhir.
Kemiskinan di tengah masyarakat juga merupakan tantangan bagi siapa pun yang memegang tampuk kepemimpinan di negeri ini, walaupun tercatat bahwa pemerintahan SBY berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia beberapa tahun terakhir, masing-masing ke tingkat 14% dan 9%.
Sebagai penutup, bukanlah sebuah mimpi belaka untuk bercita-cita bahwa Indonesia dapat menjadi negara superpower melihat potensi yang kita miliki, yang juga dimiliki oleh sebuah negara adidaya secara garis besarnya. Tetapi, untuk melihat Indonesia menepati posisi itu, kita masih harus banyak bersabar.
Tidak ada yang instan dalam proses ini -bandingkan usia kita dalam berdemokrasi yang baru sekitar 11 tahun dengan AS yang sudah mencapai lebih dari 230 tahun. Tetapi, jika kita pelihara dan kembangkan potensi ini, paling tidak Indonesia bisa menjadi superpower di wilayah Asia, walau agaknya masih sulit untuk menjadi world super- power.
Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita mengembangkan potensi ini menjadikan kekuatan yang sesungguhnya, sehingga kita dapat berdiri sejajar dengan (atau malah di atas) Tiongkok, India, Rusia, dan AS? Ini adalah pertanyaan dan pekerjaan rumah besar yang menjadi tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia.
Hadianto Wirajuda adalah kandidat PhD dari LSE London School of Economics and Political Science, UK. Diaz Hendropriyono adalah kandidat PhD dari Virginia Tech University, USA. Keduanya adalah pemrakarsa Youth Initiative for Indonesia's Democracy and Development (YIDD).
Sedikit di bawah Indonesia ada Australia, middle power, yang dikategorikan oleh IMF sebagai advanced economy. Beberapa kota besar di negara itu mendapat julukan sebagai most liveable cities di dunia. Merujuk pada kapasitas yang kita miliki, apakah masih ada harapan dan optimisme bagi Indonesia untuk dapat menjadi negara adidaya?
Dalam bukunya yang berjudul Indonesia's Foreign Policy Under Suharto, Leo Suryadinata (1996), mengemukakan beberapa faktor yang menguatkan kredibilitas Indonesia di forum internasional. Pertama, secara geografis, Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN. Secara demografis, Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia, setelah Tiongkok, India, dan AS. Kedua, Indonesia merupakan emerging economy di Asia dan mendapat sebutan "Macan Asia." Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu sekitar 7% per tahun dan jika bukan karena krisis finansial pada 1997-1999, ekonomi Indonesia mungkin akan jauh lebih baik. Ketiga, kekuatan militer Indonesia merupakan yang terkuat di bagian tenggara (southeast) Asia. Berbagai kapasitas tersebut merupakan regional entitlement bagi Indonesia, sebagaimana diutarakan oleh Michael Leifer, profesor ternama ilmu hubungan internasional.
Era Soeharto telah berlalu. Sekarang, kita berada pada era yang baru. Sebuah era yang menuntut kemakmuran ekonomi dan kebebasan politik berjalan berdampingan; era yang menuntut kepemimpinan yang kuat dan tidak hanya bersandar pada besaran geografis negara; era yang menuntut toleransi terhadap perbedaan pendapat dan keyakinan di masyarakat. Secara geografis dan demografis, negara kita tidak banyak berubah sejak zaman Orde Baru. Indonesia masih merupakan salah satu negara terpadat di dunia dan yang terbesar di ASEAN.
Sekitar 230 juta dari 570 juta penduduk ASEAN tinggal di Indonesia. Secara ekonomi, ketahanan bangsa kita dalam menghadapi krisis finansial, saat ini, menempatkan Indonesia sebagai satu-satunya negara dari Asia Tenggara sebagai peserta forum ekonomi bergengsi dunia, G-20.
Percaya Diri
Dari persepsi politik, Indonesia merupakan pendukung kuat perkembangan politik di ASEAN. Seperti kita ketahui, forum ASEAN selama ini lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dibandingkan perkembangan politik. Ini bukanlah suatu keanehan, bahwa ASEAN, tidak seperti Uni Eropa, berintikan negara-negara dengan sistem politik yang tidak seragam. Ada junta militer hingga demokrasi penuh.
Berkaca dari kenyataan tersebut, tidaklah mudah untuk mempromosikan kebebasan politik dalam konteks ini. Tetapi, perkembangan demokrasi yang sehat, sejak 1999, telah menyuntikkan rasa percaya diri Indonesia untuk mempromosikan signifikansi kebebasan berpolitik melalui Bali Concord II pada tahun 2003. Inisiatif yang disebut sebagai ASEAN political development, bukan democratization, ini pada akhirnya berhasil dimaktubkan dalam ASEAN Charter yang mulai berlaku pada Desember 2008.
Terlepas dari perdebatan apakah Indonesia harus meratifikasi piagam tersebut mengingat masih banyak ruang kosong yang harus diperbaiki, Indonesia tetap bersikeras mendukung inisiatif tersebut. Hal ini didasarkan pada kenyataan, tanpa sebuah piagam yang mengikat semua, ASEAN tetap akan menjadi organisasi yang longgar, yang akan dapat mengurangi komitmen negara-negara anggotanya dalam upaya pengembangan demokrasi di kawasan.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk mengingat posisi Indonesia sebagai pihak yang pernah menolak nilai-nilai demokrasi Barat, karena dianggap bertentangan dengan Asian values.
Kapasitas lainnya mencakup status Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India, dan negara Islam terbesar di dunia. Indonesia adalah tempat di mana Islam, modernitas dan demokrasi dapat tumbuh kembang secara bersama-sama. Namun, Indonesia juga masih harus menghadapi beberapa tantangan. Termasuk di dalamnya adalah konflik horizontal di kalangan masyarakat. Tetapi, hal ini jangan sampai menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap dominasi fundamentalisme di Indonesia, sehingga dapat mengancam karakter ketoleransian bangsa ini.
Seperti dikemukakan oleh Ramage dan MacIntyre dalam laporan ASPI, berjudul Seeing Indonesia as a Normal Country, ketakutan akan fundamentalisme dan antipluralisme di Indonesia adalah keliru karena mayoritas masyarakat Muslim Indonesia adalah kaum moderat. Di samping itu, kita juga harus ingat bahwa tidak satu pun negara di dunia ini yang dapat dijadikan model sebagai demokrasi yang sempurna. Bahkan, di AS sekalipun, konflik kesukuan dan ras masih terjadi.
Di samping itu, korupsi masih merupakan masalah untuk Indonesia. Berdasarkan laporan dari Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih setara dengan negara korup seperti Ethiopia dan Uganda. Tetapi, kesuksekan kita dalam memberantas korupsi telah memperbaiki indeks tersebut sebanyak 37% sejak 2002. Namun, kekisruhan kepastian hukum, yang terjadi saat ini, jelas menuntut ketegasan pemerintah agar tidak berlarut-larut, yang mana dikhawatirkan dapat memengaruhi tingkat kepuasan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Kebebasan Berbicara
Dalam hal kebebasan berbicara, Reporters Without Borders (RWB), sebuah organisasi nonpemerintah internasional yang fokusnya pada kebebasan pers dan advokasi jurnalis, melaporkan bahwa kebebasan tersebut menurun sejak 2002 (peringkat 57), membuat kita setingkat dengan Guinea dan Mauritania, di mana kebebasan bicara tidak begitu dijamin. Pada Feburari 2008, misalnya, Bersihar Lubis, editor Koran Tempo, harus berhadapan dengan tuntutan hukum karena mengutip sebuah pendapat seorang tokoh yang kemudian diinterpretasikan pendapat tersebut sebagai penghinaan terhadap sebuah institusi hukum di Indonesia. Akan tetapi, ranking Indonesia mengalami perbaikan dari posisi 111 ke posisi 100 setahun terakhir.
Kemiskinan di tengah masyarakat juga merupakan tantangan bagi siapa pun yang memegang tampuk kepemimpinan di negeri ini, walaupun tercatat bahwa pemerintahan SBY berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia beberapa tahun terakhir, masing-masing ke tingkat 14% dan 9%.
Sebagai penutup, bukanlah sebuah mimpi belaka untuk bercita-cita bahwa Indonesia dapat menjadi negara superpower melihat potensi yang kita miliki, yang juga dimiliki oleh sebuah negara adidaya secara garis besarnya. Tetapi, untuk melihat Indonesia menepati posisi itu, kita masih harus banyak bersabar.
Tidak ada yang instan dalam proses ini -bandingkan usia kita dalam berdemokrasi yang baru sekitar 11 tahun dengan AS yang sudah mencapai lebih dari 230 tahun. Tetapi, jika kita pelihara dan kembangkan potensi ini, paling tidak Indonesia bisa menjadi superpower di wilayah Asia, walau agaknya masih sulit untuk menjadi world super- power.
Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita mengembangkan potensi ini menjadikan kekuatan yang sesungguhnya, sehingga kita dapat berdiri sejajar dengan (atau malah di atas) Tiongkok, India, Rusia, dan AS? Ini adalah pertanyaan dan pekerjaan rumah besar yang menjadi tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia.
Hadianto Wirajuda adalah kandidat PhD dari LSE London School of Economics and Political Science, UK. Diaz Hendropriyono adalah kandidat PhD dari Virginia Tech University, USA. Keduanya adalah pemrakarsa Youth Initiative for Indonesia's Democracy and Development (YIDD).
Monday, July 06th, 2009 | Author: upi0707668
Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah.
Seiring dengan perkembangan politik dalam dan luar negeri, banyak perubahan yang telah dialami Tentara Nasional Indonesia (TNI) baik dalam bentuk struktur organisanasi, doktrin maupun tugas pokok dan fungsinya. Namun ada satu aspek yang tidak pernah dan tidak akan pernah berubah sepanjang masa yaitu kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mempertahankan kedaulatan negara serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Memasuki abad ke 21 ini, hakekat ancaman yang bagi kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI juga berubah. Di samping masalah insurgensi dan separatisme yang sejak awal berdirinya Republik Indonesia merupakan gangguan utama bagi kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Indonesia, realita politik internasional masa kini menunjukkan adanya potensi ancaman eksternal yang lebih nyata dibanding masa lalu. Walaupun kemungkinan agresi langsung oleh suatu negara asing dalam waktu dekat masih sangat kecil, intervensi asing baik secara langsung mapun tidak langsung dalam berbagai masalah dalam negeri tentu saja merupakan suatu ancaman bagi kedaulatan negara Republik Indonesia. Selain itu, munculnya terorisme internasional sebagai fenomena “baru” yang merupakan ancaman bagi keamanan nasional jelas memerlukan penanganan yang serius. Krisis multi dimensional yang mempengaruhi kondisi sosial, politik dan ekonomi Indonesia dalam 5 tahun terakhir ini jelas mempunyai dampak terhadap kemampuan TNI untuk mengatasi dan menghadapi berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan tersebut. Salah satunya yang terjadi di wilayah Sebatik yaitu adanya dugaan kasus tentang penggeseran patok batas wilayah kedaulatan teritoril NKRI.
Adapun manfaat penulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada Komando Atas, tentang tinajauan penggerseran patok batas wilayah di daerah Sebatik.
Dari uraian tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan yang harus dicari solusinya, diantaranya adalah: Pertama, Tidak jelasnya garis batas laut dan darat, akibatnya sering menimbulkan konflik. Kerugian selalu ada di pihak Indonesia dan kondisi ini langsung oleh masyarakat Indonesia. Pada waktu sengketa ambalat banyak nelayan yang sedang mencari ikan dikejar oleh polisi Malaysia. Keadaan didarat, dimana rumah penduduk ada yang terbagi dua oleh batas negara dimana ruang tamu masuk diwilayah Indonesia, sedangkan dapur masuk wilayah negara malaysia, tetapi masyarakat tetap menjadi warga negara Indonesia. Kedua, Eksploitasi sumberdaya alam secara ilegal, terutama hasil kehutanan dan kekayaan laut. Untuk menjaga agara perbatasan tidak mudah baik didaratan maupun di laut mengingat lausnya daerah yang dijaga dan keamanan yang terbatas.
Kabupaten Nunukan adalah salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Nunukan. Nunukan terletak pada 3° 30` 00″ sampai 4° 24` 55″ Lintang Utara dan 115° 22` 30″ sampai 118° 44` 54″ Bujur Timur.Kabupaten ini memiliki luas wilayah 14.493 km² dan berpenduduk sebanyak 109.527 jiwa (2004). Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.
Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau. Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.
Pulau Sebatik merupakan salah satu dari 92 pulau terdepan Indonesia di sebelah timur laut Kalimantan. Letak geografisnya paling unik dan terumit dari sisi potensi konflik batas dengan negara lain. Pada bagian utara adalah Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, sedangkan di selatan wilayah Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Di sebelah barat Pulau Sebatik terdapat Pulau Nunukan, sebagai ibu kota Kabupaten Nunukan, sedangkan di seberang utara terdapat Kota Tawau, yang sudah berada di Negara Bagian Sabah. Luas Pulau Sebatik wilayah Indonesia, ada 414,16 km2 dan jumlah penduduk 13.776 jiwa.
Paling unik, karena satu titik patok tapal batas negara di Pulau Sebatik, membelah Desa Aji Kuning menjadi milik Indonesia dan Malaysia. Ini merupakan bagian dari 18 patok batas di Pulau Sebatik, dan bagian tak terpisahkan dari 19.328 patok darat Akselerasi masyarakat antarkedua negara cukup baik. Sebagian besar kebutuhan akan sembilan bahan pokok warga Indonesia yang berpofesi sebagai petani dan nelayan, sepenuhnya dipasok dari Tawau. Banyak sekali rumah warga kedua negara posisinya berada persis di atas patok batas.Tidak Akurat Paling rumit, karena perkembangan ilmu dan teknologi, pada tahun 1982-1983 Tim General Boder Committee (GBC) Indonesia-Malaysia, menemukan ketidakakuratan titik koordinat pada pemasangan patok batas di Desa Aji Kuning. Deviasinya 4 derajat pada patok yang ditanam, sehingga wilayah Indonesia di Pulau Sebatik dicaplok Malaysia seluas 103 hektare. Tanggal 26 September 1996, terjadi insiden penembakan oleh polisi hutan Malaysia terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang tengah melakukan patroli di Pulau Sebatik. Malaysia sempat mengancam akan membangun pagar memanjang di sepanjang perbatasan Pulau Sebatik, ketika muncul saling klaim terhadap kepemilikan Blok Ambalat di Perairan Laut Sulawesi tahun 2005 dan 2008.
Ketidakakuratan pemasangan patok batas pada titik koordinat yang sesungguhnya di Desa Aji Kuning merupakan bagian dari 10 masalah patok tapal batas darat Indonesia-Malaysia yang belum disepakati di Kalimantan. Negosiasi jalan terus. Indonesia-Malaysia memang telah menetapkan bersama kedua patok di pantai barat dan pantai timur. Namun, pilar yang terletak di pantai barat Pulau Sebatik tidak ditemukan lagi sehingga tidak dapat dilakukan rekonstruksi beberapa posisi sebenarnya. Malaysia telah menunjukkan dokumen yang tidak asli yang memuat hasil-hasil ukuran patok-patok antara kedua pilar tersebut, yang katanya dibuat oleh Belanda-Inggris, namun patok-patok dimaksud cenderung menyimpang ke selatan. Gubernur Kaltim Awang Faruk mengatakan, secara bertahap pemerintah daerah dan departemen terkait di Jakarta terus menjabarkan program pembangunan berkelanjutan di wilayah pulau terdepan ini .
Pulau Sebatik bagian dari empat pulau terdepan di Provinsi Kaltim. permasalahan patok batas merupakan salah satu permasalahan serius yang mesti segera diselesaikan dengan Federasi Malaysia. Di samping persoalan di Pulau Sebatik, patok batas yang belum di-sepakati di Provinsi Kaltim adalah di Sungai Sinapad dan Sungai Simantipal. Dari 10 permasalahan patok batas yang belum disepakati, di garis batas Kalbar-Sarawak, terdapat lima problem, yakni segmen Tanjung Datu, Gunung Raya, Batu Aum, Sungai Buan, dan segmen D.400. Kaltim-Sabah, di Pulau Sebatik, Sungai Sinapad, Sungai Semantipal, Pulau Sebatik, segmen Daerah Prioritas 2700, dan segmen Daerah Prioritas C.500. Di Sungai Sinapad yang sering disebut masalah, Sungai Sedalir merupakan masalah yang diangkat oleh Federasi Malaysia atas pengertian hasil-hasil ukuran bersama (Belanda-Inggris) yang dituangkan dalam persetujuan 1915. Menurut Malaysia, karena Sungai Sinapad adalah sounthem tributary daripada Sungai Sedalir yang bermuara di atas 4 derajat 20 menit (hanya 34 menit saja), maka watershed yang tergambar pada peta lampiran persetujuan 1915 ditolak kebenarannya, dan menginginkan watershed yang berada di sebelah timur Sungai Sinapad, sehingga mengambil alih wilayah Indonesia 4.800 hektare. Padahal, dari meridian 117 derajat sampai Sungai Sedalir, menurut lampiran persetujuan 1915 terhadap sekitar sungai yang berasal dari sebelah atas (utara) lintang 4 derajat 20 menit. Malaysia mengabaikan pengertian small portions, bahwa watershed adalah primo loco daripada lintang 4 derajat 20 menit dan persetujuan adalah mengikat (obligator). Masalah Sungai Simantipal, karena Malaysia telah menemukan kasus di mana Sungai Sinapad ternyata bermuara di utara lintang 4 derajat 20 menit. Malaysia berusaha mencari di tempat lain, apakah ada kasus serupa. Akhirnya Malaysia menduga bahwa Sungai Simantipal pun yang sudah diatur di dalam persetujuan 1915, bermuara di sebelah utara lintang 4 derajat 30 menit. Apabila memang benar dugaan Malaysia, bahwa Sungai Simantipal bermuara di Sungai Sedalir di utara lintang 4 derajat 20 menit, maka di sini belum diketahui ke mana pihak Malaysia akan memilih watershed yang cocok. Ini karena di kawasan tersebut tidak ada watershed lain, kecuali yang telah disepakati Belanda-Inggris, seperti tercantum dalam persetujuan maupun peta lampirannya.
Pembangunan wilayah perbatasan merupakan hal yang penting guna mempertahankan keutuhan NKRI. Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Keadaan ini dapat merupakan suatu kegiatan yang memberikan nilai yang berarti bagi bangsa dan negara, kegiatan tersebut adalah: Mempunyai nilai penting bagi kedaulatan negara, Memiliki kemampuan untuk mendorong agar terjadi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, Mempunyai kemampuan untuk membangun jaringan kerja dengan wilayah lainnya dan negara tetangga, Memberikan kontribusi terhadap pertahanan dan keamanan Baik skala regional maupun nasional.
Beberapa permasalahan yang dihadapi diwilayah perbatasan kepulauan Nunukan dan sebatik dengan negara Malaysia diantaranya adalah: Pertama, Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya pato-patok dan jarak satu patok dengan patok lainnya saling berjauhan. Kedua, pengelolaan sumberdaya alam belum terkoordinasi dengan baik, sehingga banyak sumberdaya alam kita diambil oleh orang asing, misalnya kasusu ilegalloging. Akibat patok-patok yang tidak jelasmengakibatkan kerugian negara Indonesia Ketiga, Daerah perbatasan memiliki posisi strategis yang berdapak terhadap hankam mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia, dimana banyak terjadi pelintas batas baik dari dan ke Indonesia maupum Malaysia. Keempat, Kemiskinan akibat keterisolasian daerah menjadi pemicu tinnginya keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas kemalaysia dengan alasan untuk memperbaiki kehidupan, mengingat perekonomian di malaysia lebih baik daripada di Indonesia. Kelima, Kesenjangan Sarana dan prasarana antara kedua wilayah negara pemicu orentasi ekonomi masyarakat, seperti dipulau sebatik, ke tawao malaysia daripada kepulau Nunukan kjarena lebih dekat dan murah ongkosnya,s erta barang-banrang yang di[erlukan lebih berkualitas. (Balitbang Dephan).
Oleh karena itu pemerintah kita harus cepat tangap dalam melakukanrespon negative dari Negara tetangga yang selalu mengklaim wilayak kita adalah wilayah mereka. Pemerintah juga harus bisa merubah paradigma lama yaitu jika tidak kasus yang mucul pemerintah hanya bertindak “lemah”, akantetapi jika permasalahan telah muncuat ke permuakaan baru seperti kebakaran jenggot. Mulai dari saat ini kita harus melindungi dan menjaga kehormatan territorial Negara kita dari ancaman Negara tetangga yang dengan seenaknya mengklaim wilayah Negara kita. Kita harus bertindak tegas, tepat, cepat dan akurat untuk dapat mengantisipasi dan merespon segala tindakan yang bersifat ancaman nagi Negara kita. Walaupun tidak semua kasus sengketa dengan Negara Malayia tidak harus dengan jalan perang dan lebih mengutamakan jalan damai/sesuai dengan doktrin TNI yaitu menggnakan taktik defense aktif. Akan tetapi jika dibiarkan larut-larut kita juga harus segera dapat mengantisipasinya salah satunya denagan pengamanan batas wilayah Negara kita memperbanyak patroli dan penguatan/penambahan alutsista berat di wilayah Negara kita.
Pemerintah Indonesia harus segera menambah personil anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berjaga di wilayah Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, yang kini hanya berjumlah satu pleton. Jumlah tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah personil keamanan Negara Malaysia yang ditempatkan dilokasi yang sama mencapai satu kompi pasukan keamanan. Banyaknya pasukan Malaysia tersebut, tidak sebanding dengan pasukan TNI yang ada di daerah itu, sehingga wajar bila saat ini banyak masalah yang terjadi di perbatasan diantaranya masalah pergeseran patok di Sebatik. Bukan hanya di Sebatik yang perlu ditambah, tetapi di seluruh wilayah perbatasan juga harus ditambah minimal sama dengan Malaysia, kalau perlu lebih banyak.
Selain menambah personil, pemerintah juga harus meningkatkan kesejahteraan anggota TNI yang berjaga di daerah itu seperti menambah uang kemahalan dan kemudahan untuk hidup bagi keluarganya. Hal itu, sangat penting dilakukan, mengingat tingginya biaya hidup di daerah-daerah tersebut, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok warga maupun anggota TNI lebih dekat dengan Malaysia. Kondisi tersebut sangat berbahaya bila pemerintah Indonesia tidak mewaspadainya. Selain memberikan uang kemahalan, pemberian tanda jasa juga sangat penting dilakukan bagi TNI yang berjaga di wilayah perbatasan, mengingat itu sangat berarti bagi pengabdian mereka selama ini. Sedangkan untuk mempengaruhi dunia luar, Indonesia juga harus meningkatkan diplomasi baik ke PBB maupun negara lainnya, menyosialisasikan tentang wilayah perbatasan Indonesia. Banyak negara yang mengincar wilayah perbatasan Indonesia, pemerintah jangan sampai lengah, bisa-bisa sedikit demi sedikit perbatasan Indonesia akan beralih ke negara lain.
Terdapat banyak faktor penyebab lemahnya perhatian dan pemberdayaan sektor maritim yang menyebabkan begitu maraknya kriminalitas dan pelanggaran kedaulatan wilayah perairan NKRI. Faktor-faktor tersebut antara lain: Ada beberapa wilayah perbatasan yang masih menjadi sengketa, Kekosongan aktivitas di sepanjang zona perbatasan NKRI, Lemahnya pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pelanggaran wilayah kedaulatan territorial, serta belum jelasnya identitas pulau-pulau terluar sebagai milik Indonesia.
Untuk menghadapi kemungkinan lebih jauh dari strategi yang diterapkan negara-negara tetangga khususnya Malaysia, maka pemerintah harus menciptakan counter strategy dengan cara sebagai berikut : Pertama, Terus mengupayakan negosiasi penyelesaian atas perbedaan paham dengan mengedepankan argumen yang berlandaskan Klausul Hukum Laut Internasional (HLI) dan jabarannya. Serta memetakan batas wilayah laut berpedoman pada ketentuan UNCLOS dan segera mendepositkannya di PBB.
Kedua, Memperluas dan mengintensifkan kajian HLI dan jabarannya atas fakta kondisi perairan perbatasan NKRI melalui forum nasional (di perguruan tinggi, Deplu, Depdagri, DKP, dll.) serta forum internasional (dengan sesama negara kepulauan seperti : Jepang, Filipina, negara pantai dan komunitas maritim Internasional).
Ketiga, Pemberdayaan nelayan dengan cara meningkatkan kemampuan (SDM, kapal dan sarana penunjang) untuk menjadi nelayan modern yang dapat bersaing dengan nelayan asing dan dapat beroperasi di wilayah perbatasan.
Keempat, Meningkatkan patroli di zona perairan perbatasan, baik patroli darat, laut maupun patroli udara. Mengingat amat luasnya wilayah teritorial NKRI, seyogyanya pengawasan dan pengamanan daerah perbatasandilaksanakan dengan melibatkan banyak pihak berkepentingan seperti tersebut diatas. Ada baiknya patroli dilakukan secara terkoordinasi (bukan secara bersama-sama). Masing-masing pihak dapat melaksanakan tugas patroli sesuai dengan lingkup tugas, kewenangan dan kemampuannya. Patroli terkoordinasi di zona perbatasan dengan Malaysia sudah sering dilakukan terutama pada wilayah perbatasan yang rawan perompakan bersenjata (piracy) dan daerah sengketa. Hasilnya, dapat menekan jumlah kasus piracy walau hanya bersifat sementara.
Kelima, Transmigrasi nelayan ke pulau-pulau terpencil di perairan. Transmigrasi nelayan di perairan akan dapat meningkatkan aktivitas di perairan perbatasan. Namun hal itu hanya mungkin terjadi bilamana para migran nelayan ini disiapkan dan dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan, dimodernisasi serta dibina sedemikian rupa. Segala kebutuhannya disediakan dan hasil tangkapan mereka ditampung/dibeli dengan harga yang wajar. Konsep pemberdayaan mereka adalah pola PNI (Perikanan Inti Nelayan) jadi harus ada perusahaan perikanan besar sebagai inti yang dapat mensuplai segala kebutuhan dan menampung hasil tangkapan para nelayan sebagai plasma.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu : Pertama, Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya patok-patok batas Negara dan jarak satu patok dengan patok lainnya saling berjauhan 5 – 10 Km memiliki posisi strategis yang berdampak terhadap hankam mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia, dimana banyak terjadi pelintas batas baik dari dan ke Indonesia maupun Malaysia. Kedua, Pengelolaan sumberdaya alam belum terkoordinasi dengan baik, sehingga banyak sumberdaya alam kita diambil oleh orang asing, misalnya kasus illegal logging. Hal ini akibat patok-patok batas Negara yang tidak jelas, sehingga Negara Indonesia dirugikan Daerah perbatasan. Ketiga, Kemiskinan akibat keterisolasian daerah menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas ke Malaysia dengan alasan untuk memperbaiki kehidupan, mengingat perekonomian di Malaysia lebih baik daripada di Indonesia. Keempat, Kesenjangan Sarana dan prasarana antara kedua wilayah negara pemicu orentasi ekonomi masyarakat, seperti dipulau sebatik, lebih baik ke tawao Malaysia daripada kepulau Nunukan karena lebih dekat dan murah ongkosnya,serta barang-banrang yang diperlukan lebih berkualitas. (Balitbang Dephan).
Adapun saran dan masukan dalam permasalahan tersebut diatas diantaranya adalah: 1) Membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk masyarakat, agar masyarakat mempunyai pekerjaan, sehingga dapat memenuhi akan kebutuhannya. 2) Memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan kerja untuk masyarakat yang tinggal didaerah perbatasan. 3) Batas negara harus diadakan evaluasi kembali agar patok tanda batas negara jelas posisinya. 4) Penduduk perbatasan setiap 6 bulan sekali secara bergiliran diadakan penataran tentang ketahanan nasional, khususnya pemuda. 5) Menambah pos penjagaan di daerah perbatasan. 6) Membangun rumah Sangat Sederhana (RSS) untuk rakyat miskin yang tinggal diperbatasan yang tempat tinggalnya tepat bersebelahan dengan batas garis Negara. 7) Bila memungkinkan masyarakat perbatasan diberikan latihan dasar-dasar militer khususnya pemuda.
BERITA-berita “pertarungan” Indonesia-Malaysia kini bak tiada habisnya. Sepertinya, setiap sekian minggu akan muncul di berbagai media cetak dan elektronik Indonesia kisah-kisah keagresifan dan ketamakan Negeri Jiran tersebut. Mulai dari perlakuan RELA terhadap Warga Negara Indonesia, dipatenkannya batik oleh perusahaan Malaysia, situs blog ihateindon.blogspot.com, dan yang terkini, kolektor-kolektor Malaysia dituduh oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) melakukan pencurian naskah-naskah kebudayaan Melayu di Nusantara.
Seperti kita ketahui bersama, goresan awal dari konflik antara dua nasion ini terletak pada menangnya Malaysia dalam kontes siapa yang boleh memiliki dua pulau Sipadan dan Ligitan. Kelanjutan dari peristiwa tersebut adalah minggu-minggu tegang di perairan Ambalat yang puncaknya adalah “tabrakan” antara dua kapal perang masing-masing dari kedua negara. Di sisi lain, tak bisa dilepaskan juga dari memori kita peristiwa eksodus besar-besaran buruh migran Indonesia ke Nunukan, sebuah kota kecil perbatasan di Kalimantan Timur. Menariknya, masalah representasi Malaysia di Indonesia ini sebenarnya bergerak dari berbagai faktor yang sama sekali awalnya tak berhubungan, namun secara bersamaan menunjukkan adanya cacat besar pada nasionalisme masing-masing negeri. Dan ini tampaknya tak disadari oleh banyak pihak. Beberapa waktu lalu, Majalah Tempo terbit dengan judul “Encik Maunya Apa?”. Tulisan ini berupaya mengidentifikasi faktor-faktor tersebut.
Krisis Lapangan Pekerjaan
Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh warga negara Indonesia di Malaysia yang diberitakan akhir-akhir ini sebenarnya adalah sebuah gejala dari sebuah persoalan yang cukup signifikan di Malaysia dan Indonesia.
Banyak warga Malaysia, terutama dari etnik Melayu, yakin bahwa orang Indonesia hanyalah sumber masalah, pelaku “jenayah” alias tindak kriminal, dan lain sebagainya. Berita-berita di koran-koran sensasional Malaysia juga memperkuat kesan ini dengan menghubungkan kasus-kasus kriminal yang tak terselesaikan dengan keberadaan buruh migran Indonesia.
Mengapa representasi “Indon=Jenayah” menjadi kuat di Malaysia? Salah satu alasannya adalah adanya 1,5 juta buruh migran Indonesia dari total 2 jutaan buruh migran di seluruh Malaysia. Negeri Jiran ini sendiri berpenduduk sekitar 23 juta, artinya buruh migran Indonesia bisa mencapai 10% jumlah populasi dewasa Malaysia. Representasi “Indon=Jenayah” kemudian sangat jelas adalah cerminan dari kompetisi lapangan pekerjaan di Malaysia, di mana banyak warga Malaysia, terutama dari etnik Melayu, merasa tersingkirkan.
Menurut Majalah Economist, angka pengangguran di Malaysia mencapai 3,5 persen, jauh di bawah Indonesia yang mencapai 9,8 persen. Namun banyaknya anggota aktif RELA, milisi binaan Kementrian Hal Ehwal Dalam Negeri, menunjukkan banyaknya warga Malaysia yang tersingkir dalam pasar tenaga kerja. Belakangan, Pemerintah Malaysia memutuskan untuk membayar RM 4 dan menurut Komandan Rela Datuk Zaidon Asmuni, anggota RELA bekerja setidaknya 8 jam sehari tanpa lembur. Bukan sesuatu yang baru di dunia ini, para pengangguran dibujuk untuk masuk ke dalam milisi buatan pemerintah. Indonesia juga telah melakukan hal yang sama dengan pembentukkan Kamra dan Satpol PP, dengan tugas-tugas dan terkadang kebrutalan yang sama.
Kembali mengenai 1,5 juta buruh migran Indonesia di Malaysia, sumber utama dari fakta ini adalah ketidakmampuan ekonomi Indonesia dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan pendapatan yang layak. Sebagian besar buruh migran Indonesia berasal dari wilayah-wilayah semi perkotaan semi pedesaan, wilayah-wilayah dimana ekonomi pedesaan masih mendominasi sementara pertumbuhan penduduk dan tempat tinggalnya sudah perkotaan. Kota-kota kecil di Jawa adalah daerah asal sebagian besar buruh migran, di mana lapangan pekerjaan tidak lagi memadai untuk angkatan kerjanya.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia menyadari benar besarnya pendapatan masuk yang dapat diperoleh dari buruh migran. Ini yang membuat “ekspor” buruh migran menjadi bagian dari “strategi” pendapatan nasional. Ini bisa kita lihat dari spanduk-spanduk “Selamat Datang Pahlawan Devisa” di berbagai bandara internasional Indonesia, dan keberadaan terminal khusus buruh migran di Bandara Soekarno Hatta. Daripada membangun industri nasional yang menyerap tenaga kerja dengan upah yang layak, pemerintah memilih mendapatkan devisa dari “ekspor” tenaga kerja.
Tekanan terhadap Rejim UMNO
Faktor lainnya yang turut mendorong pertarungan ini adalah tekanan terhadap kekuasaan UMNO dari berbagai elemen masyarakat. UMNO merupakan organisasi politik yang berdiri untuk mendapatkan perlindungan-perlindungan khusus etnis Melayu dalam berhadapan dengan etnis India dan Cina. Sejarah perkembangan UMNO sendiri adalah kelanjutan dari organisasi serupa yang meminta hak-hak khusus tersebut dari pemerintah kolonial Inggris. Ketika sebagian besar etnis Cina bersimpati dengan gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh pemberontakkan Partai Komunis Malaya, pemerintah kolonial Inggris memberikan konsesi kemerdekaan kepada elit Melayu.
Tuntutan-tuntutan demokratik yang dikumandangkan mulai menggerogoti legitimasi kekuasaan UMNO. Belakangan ini Malaysia mengalami demonstrasi-demonstrasi besar yang menuntut kebebasan demokratis yang lebih luas dalam bentuk Pemilihan Umum yang bersih. Kalangan minoritas, seperti etnik keturunan India, juga melakukan aksi-aksi protes untuk mengedepankan kepentingan mereka yang selama ini yang berada di bawah diskriminasi pro-Melayu.
Dalam posisi demikian, UMNO berupaya untuk memperkuat legitimasinya dengan mencari dukungan dari etnis Melayu. Di sinilah pemerintah yang didominasi UMNO mencoba menegaskan peran mereka sebagai pelindung etnis Melayu. Pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang secara visual dapat dianggap melindungi etnis Melayu, ini juga yang menjelaskan mengapa begitu banyak wewenang yang diberikan kepada RELA. Kedua, adanya kecenderungan untuk membentuk identitas nasional yang mendukung kesan tersebut.
Sengketa Nasionalisme
Di tengah sebuah dorongan untuk melegitimasi pemerintahan yang berlandaskan diskriminasi pro Melayu, sangat wajar jika akan muncul dorongan-dorongan lain untuk melegitimasi ke-Melayu-an Malaysia. Seperti halnya nasionalisme Indonesia pada masa kini, nasionalisme Malaysia merupakan nasionalisme resmi yang didesakkan oleh elit sebagai reaksi terhadap nasionalisme popular yang berlandaskan gerakan sosial untuk kemerdekaan. Nasionalisme resmi sangat mengandalkan klaim-klaim masa lalu, mencari-cari di dalam tradisi hal-hal yang mengesahkan sebuah masyarakat adalah sebuah bangsa yang sudah ada dari dahulu kala.
Dalam kasus Malaysia, memang hal tersebut terkait juga dengan industri pariwisata yang mengandalkan identitas keunikan sebagai elemen pemasarannya. Ini membuat adanya semacam insentif untuk mewujudkan identitas tersebut dengan menggunakan misalnya lagu “Rasa Sayange” ataupun dipatenkannya batik Malaysia.
Persoalannya kemudian, Indonesia sebagai negeri yang bertetangga dengan Malaysia juga memiliki pengaruh kebudayaan Melayu yang sangat kuat, bahkan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Nasionalisme Indonesia juga tak kalah resminya dengan nasionalisme Malaysia. Sebagian besar orang Indonesia telah “didoktrin” dengan kebanggaan nasional yang berlandaskan pada klaim-klaim masa silam, termasuk juga elemen-elemen kebudayaan seperti lagu “Rasa Sayange” dan seni membatik. Jika seluruh elemen kebudayaan Melayu sudah diklaim oleh Malaysia, apalagi yang dimiliki Indonesia yang bisa diklaim sebagai akar dari bangsa Indonesia?
Sengketa Indonesia-Malaysia sebenarnya menunjukkan bahwa nasionalisme yang dominan baik di Indonesia dan Malaysia sebenarnya tidak memiliki dasar apa-apa untuk masa depan. Klaim berdirinya bangsa Malaysia dan Indonesia hanyalah fantasi tentang masa lampau, itulah sebabnya akan selalu muncul konflik di antara kedua negeri.***
Seperti kita ketahui bersama, goresan awal dari konflik antara dua nasion ini terletak pada menangnya Malaysia dalam kontes siapa yang boleh memiliki dua pulau Sipadan dan Ligitan. Kelanjutan dari peristiwa tersebut adalah minggu-minggu tegang di perairan Ambalat yang puncaknya adalah “tabrakan” antara dua kapal perang masing-masing dari kedua negara. Di sisi lain, tak bisa dilepaskan juga dari memori kita peristiwa eksodus besar-besaran buruh migran Indonesia ke Nunukan, sebuah kota kecil perbatasan di Kalimantan Timur. Menariknya, masalah representasi Malaysia di Indonesia ini sebenarnya bergerak dari berbagai faktor yang sama sekali awalnya tak berhubungan, namun secara bersamaan menunjukkan adanya cacat besar pada nasionalisme masing-masing negeri. Dan ini tampaknya tak disadari oleh banyak pihak. Beberapa waktu lalu, Majalah Tempo terbit dengan judul “Encik Maunya Apa?”. Tulisan ini berupaya mengidentifikasi faktor-faktor tersebut.
Krisis Lapangan Pekerjaan
Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh warga negara Indonesia di Malaysia yang diberitakan akhir-akhir ini sebenarnya adalah sebuah gejala dari sebuah persoalan yang cukup signifikan di Malaysia dan Indonesia.
Banyak warga Malaysia, terutama dari etnik Melayu, yakin bahwa orang Indonesia hanyalah sumber masalah, pelaku “jenayah” alias tindak kriminal, dan lain sebagainya. Berita-berita di koran-koran sensasional Malaysia juga memperkuat kesan ini dengan menghubungkan kasus-kasus kriminal yang tak terselesaikan dengan keberadaan buruh migran Indonesia.
Mengapa representasi “Indon=Jenayah” menjadi kuat di Malaysia? Salah satu alasannya adalah adanya 1,5 juta buruh migran Indonesia dari total 2 jutaan buruh migran di seluruh Malaysia. Negeri Jiran ini sendiri berpenduduk sekitar 23 juta, artinya buruh migran Indonesia bisa mencapai 10% jumlah populasi dewasa Malaysia. Representasi “Indon=Jenayah” kemudian sangat jelas adalah cerminan dari kompetisi lapangan pekerjaan di Malaysia, di mana banyak warga Malaysia, terutama dari etnik Melayu, merasa tersingkirkan.
Menurut Majalah Economist, angka pengangguran di Malaysia mencapai 3,5 persen, jauh di bawah Indonesia yang mencapai 9,8 persen. Namun banyaknya anggota aktif RELA, milisi binaan Kementrian Hal Ehwal Dalam Negeri, menunjukkan banyaknya warga Malaysia yang tersingkir dalam pasar tenaga kerja. Belakangan, Pemerintah Malaysia memutuskan untuk membayar RM 4 dan menurut Komandan Rela Datuk Zaidon Asmuni, anggota RELA bekerja setidaknya 8 jam sehari tanpa lembur. Bukan sesuatu yang baru di dunia ini, para pengangguran dibujuk untuk masuk ke dalam milisi buatan pemerintah. Indonesia juga telah melakukan hal yang sama dengan pembentukkan Kamra dan Satpol PP, dengan tugas-tugas dan terkadang kebrutalan yang sama.
Kembali mengenai 1,5 juta buruh migran Indonesia di Malaysia, sumber utama dari fakta ini adalah ketidakmampuan ekonomi Indonesia dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan pendapatan yang layak. Sebagian besar buruh migran Indonesia berasal dari wilayah-wilayah semi perkotaan semi pedesaan, wilayah-wilayah dimana ekonomi pedesaan masih mendominasi sementara pertumbuhan penduduk dan tempat tinggalnya sudah perkotaan. Kota-kota kecil di Jawa adalah daerah asal sebagian besar buruh migran, di mana lapangan pekerjaan tidak lagi memadai untuk angkatan kerjanya.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia menyadari benar besarnya pendapatan masuk yang dapat diperoleh dari buruh migran. Ini yang membuat “ekspor” buruh migran menjadi bagian dari “strategi” pendapatan nasional. Ini bisa kita lihat dari spanduk-spanduk “Selamat Datang Pahlawan Devisa” di berbagai bandara internasional Indonesia, dan keberadaan terminal khusus buruh migran di Bandara Soekarno Hatta. Daripada membangun industri nasional yang menyerap tenaga kerja dengan upah yang layak, pemerintah memilih mendapatkan devisa dari “ekspor” tenaga kerja.
Tekanan terhadap Rejim UMNO
Faktor lainnya yang turut mendorong pertarungan ini adalah tekanan terhadap kekuasaan UMNO dari berbagai elemen masyarakat. UMNO merupakan organisasi politik yang berdiri untuk mendapatkan perlindungan-perlindungan khusus etnis Melayu dalam berhadapan dengan etnis India dan Cina. Sejarah perkembangan UMNO sendiri adalah kelanjutan dari organisasi serupa yang meminta hak-hak khusus tersebut dari pemerintah kolonial Inggris. Ketika sebagian besar etnis Cina bersimpati dengan gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh pemberontakkan Partai Komunis Malaya, pemerintah kolonial Inggris memberikan konsesi kemerdekaan kepada elit Melayu.
Tuntutan-tuntutan demokratik yang dikumandangkan mulai menggerogoti legitimasi kekuasaan UMNO. Belakangan ini Malaysia mengalami demonstrasi-demonstrasi besar yang menuntut kebebasan demokratis yang lebih luas dalam bentuk Pemilihan Umum yang bersih. Kalangan minoritas, seperti etnik keturunan India, juga melakukan aksi-aksi protes untuk mengedepankan kepentingan mereka yang selama ini yang berada di bawah diskriminasi pro-Melayu.
Dalam posisi demikian, UMNO berupaya untuk memperkuat legitimasinya dengan mencari dukungan dari etnis Melayu. Di sinilah pemerintah yang didominasi UMNO mencoba menegaskan peran mereka sebagai pelindung etnis Melayu. Pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang secara visual dapat dianggap melindungi etnis Melayu, ini juga yang menjelaskan mengapa begitu banyak wewenang yang diberikan kepada RELA. Kedua, adanya kecenderungan untuk membentuk identitas nasional yang mendukung kesan tersebut.
Sengketa Nasionalisme
Di tengah sebuah dorongan untuk melegitimasi pemerintahan yang berlandaskan diskriminasi pro Melayu, sangat wajar jika akan muncul dorongan-dorongan lain untuk melegitimasi ke-Melayu-an Malaysia. Seperti halnya nasionalisme Indonesia pada masa kini, nasionalisme Malaysia merupakan nasionalisme resmi yang didesakkan oleh elit sebagai reaksi terhadap nasionalisme popular yang berlandaskan gerakan sosial untuk kemerdekaan. Nasionalisme resmi sangat mengandalkan klaim-klaim masa lalu, mencari-cari di dalam tradisi hal-hal yang mengesahkan sebuah masyarakat adalah sebuah bangsa yang sudah ada dari dahulu kala.
Dalam kasus Malaysia, memang hal tersebut terkait juga dengan industri pariwisata yang mengandalkan identitas keunikan sebagai elemen pemasarannya. Ini membuat adanya semacam insentif untuk mewujudkan identitas tersebut dengan menggunakan misalnya lagu “Rasa Sayange” ataupun dipatenkannya batik Malaysia.
Persoalannya kemudian, Indonesia sebagai negeri yang bertetangga dengan Malaysia juga memiliki pengaruh kebudayaan Melayu yang sangat kuat, bahkan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Nasionalisme Indonesia juga tak kalah resminya dengan nasionalisme Malaysia. Sebagian besar orang Indonesia telah “didoktrin” dengan kebanggaan nasional yang berlandaskan pada klaim-klaim masa silam, termasuk juga elemen-elemen kebudayaan seperti lagu “Rasa Sayange” dan seni membatik. Jika seluruh elemen kebudayaan Melayu sudah diklaim oleh Malaysia, apalagi yang dimiliki Indonesia yang bisa diklaim sebagai akar dari bangsa Indonesia?
Sengketa Indonesia-Malaysia sebenarnya menunjukkan bahwa nasionalisme yang dominan baik di Indonesia dan Malaysia sebenarnya tidak memiliki dasar apa-apa untuk masa depan. Klaim berdirinya bangsa Malaysia dan Indonesia hanyalah fantasi tentang masa lampau, itulah sebabnya akan selalu muncul konflik di antara kedua negeri.***
Catatan: Tulisan ini dibuat sebagai coret-coret pasca Pileg 2009 dan sebelum Pilpres 2009, dalam kesimpulan bahwa banyak survei politik dan analisa hasil Pemilu, atau analisis kuantitatif dalam studi politik, memiliki kerentanan kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Problem atribusi adalah salah satu akarnya, di mana kemungkinan penyebabnya adalah kemiskinan imajinasi politik. Karena coret-coret, membaca tulisan ini memerlukan kehati-hatian.
Mengamati perkembangan wacana seputar Pemilu 2009, setidak-tidaknya terdapat tiga simptom sebuah penyakit yang kini menjangkiti dunia politik Indonesia, baik dari sisi akademik maupun sisi praksis. Jika boleh dikatakan, penyakit ini bernama kemiskinan imajinasi politik.
Pertama, hingga saat ini pembahasan atas tingginya angka golput, sebesar 49,6 juta pemilih menurut KPU, masih bermuara pada “golput substantif” dan “golput administratif”. Selain penuntutan terhadap KPU atas hilangnya hak contreng dan pendaftaran ulang pemilih, pendiskusian tentang bagaimana meningkatkan partisipasi politik elektoral maupun pasca pemilu begitu marjinal.
Kedua, dalam mengkritisi tingkah polah elit politik, nuansa moral dan ideal begitu kental dalam wacana “politisi versus negarawan”. Para komentator politik tampaknya lebih suka membahas harapan-harapan yang sebenarnya normatif dibandingkan mengajukan alternatif-alternatif yang tersedia yang dapat diambil oleh masyarakat.
Ketiga, ditengah semrawutnya sistem pemilu dan partai politik Indonesia, kini juga berkembang wacana mengenai penyederhanaan jumlah partai politik. Setelah 11 tahun reformasi, cukuplah menyedihkan jika sebagian akademisi, tua dan muda, kembali ke dalam pemikiran politik teknokratik Orde Baru.
Akibat Kemiskinan Imajinasi
Sebuah imajinasi politik yang diterima luas dapat memberikan orientasi kepada berbagai pengelompokkan masyarakat untuk melalui transisi sosio-politik seperti yang kini dialami Indonesia sejak 11 tahun silam. Bayangan atas sistem baru yang membawa kualitas baru kehidupan politik, impian yang bergerak lebih jauh dari hal-hal normatif seperti keadilan sosial ataupun kesejahteraan akan membuka jalan ke arah hal-hal yang lebih substantif dan terasa dibandingkan perang jargon dan cap yang kini terjadi. Pengalaman di negeri-negeri lain, seperti halnya belakangan terjadi pada pemilihan presiden AS, menunjukkan partisipasi dan komitmen politik meningkat di saat kuatnya imajinasi politik bahkan di tingkat akar-rumput.
Pemilu 1999 di satu sisi menunjukkan partisipasi politik berkaitan erat dengan imajinasi politik atas “demokrasi”. Demam berpolitik dan berorganisasi menjangkiti hampir semua pengelompokkan masyarakat.
Namun alih-alih bergerak lebih dalamnya demokratisasi ke hal-hal seperti mekanisme-mekanisme partisipatoris yang substansial, 11 tahun proses tersebut dengan mudah ditelikung oleh teknokrasi dan elit politik yang sebelumnya telah memiliki teknologi kekuasaan yang canggih untuk membatasi demokrasi hingga tidak mengganggu kepentingannya.
Contoh-contoh dari pembatasan ini cukup banyak. Ide-ide partisipatoris yang menjadi impian Reformasi kini menjadi sistem Musrenbang yang begitu menjelimet dengan diagram alir yang begitu panjang. Perbincangan mengenai mutu pendidikan nasional yang menjadi pilar bangsa direduksi menjadi persoalan quota anggaran belanja pendidikan. Peran negara dalam kesejahteraan sosio-ekonomi rakyatnya begitu dipangkas hingga menjadi seperangkat jargon dan program-program kuratif seperti UKM, BLT, dan PNPM, yang peran maksimalnya hanya mengurangi dampak gilasan rentetan krisis kapitalisme global.
Pilar-Pilar Kemiskinan Imajinasi
Tampaknya, beberapa faktor memberikan sumbangan cukup besar ke dalam miskinnya imajinasi politik di Indonesia.
Faktor pertama adalah tidak disadarinya bahwa kondisi depolitisasi warisan Orde Baru masih terus berlanjut. Melorotnya perolehan suara partai-partai lama dengan drastis dan melonjaknya perolehan partai-partai baru dalam tiga pemilu terakhir (1999, 2004, dan 2009) menunjukkan bahwa para pemilih dalam keadaan mengambang dan menentukan preferensi politiknya menjelang pemilu dalam hubungan yang lebih bersifat transaksi cash and carry, ketimbang komitmen politik dengan konstituen. Dalam pemilu yang transaksional ini, suara dapat ditukar dengan uang puluhan ribu rupiah ataupun harapan hasil politik pencitraan.
Depolitisasi ini juga ditopang oleh sikap “harga mati”, yang diikuti dengan tindakan intimidasi dan pemberangusan seperti pembakaran/sweeping buku. Akibatnya, perbincangan yang lebih substansial menjadi buntu. Tengok saja persoalan pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu ataupun diskusi mengenai sistem kekuasaan federal.
Faktor kedua, di tengah-tengah mandeknya perjalanan demokratisasi, keinginan untuk regularisasi kehidupan berpolitik juga cukup terasa. Representasinya adalah kata-kata “stabilitas politik” dan “kebablasan”. Periode transisi memang selalu bergejolak karena berbagai pengelompokkan sosial politik, termasuk di dalamnya anggota-anggota aparatus negara, bermanuver dan bernegosiasi untuk memperoleh posisi dalam pencarian kesetimbangan baru. Namun gejolak-gejolak tersebut tidak dilihat sebagai tantangan yang harus diatasi untuk menuju kualitas baru. Malahan, beberapa kalangan yang mendambakan regularisasi perpolitikan menganggap bahwa stabilitas, kontinuitas, dan governability, adalah hal yang utama.
Karena banyak orang yang berharap akan regularisasi, upaya-upaya membuat gebrakan politik menjadi minimal. Konsekuensinya cukup dalam. Dari sisi kualitas, nuansa dua kali pemilu kita begitu hambar dan membosankan. Hingar bingar secara superfisial dan harus ditambah perdebatan yang banal (seperti keajaiban tuduhan neoliberal belakangan ini), namun hampa akan gerakan politik dan ide politik yang bernas. Lalu apa gunanya pemilihan umum yang mahal jika tidak ada kemajuan kualitatif dalam pemerintahan berikutnya?
Faktor ketiga, yang merupakan kulminasi dari dua lainnya, adalah begitu dominannya kuantifikasi dalam menganalisa dinamika politik. Bukan bermaksud mengesampingkan peran penting survey ataupun polling, tapi masalahnya adalah kenaifan berpikir yang meletakkan bahwa angka bisa menjelaskan segalanya ataupun menjadi landasan utama dari tindakan politik. Apakah angka penerimaan masyarakat terhadap seorang presiden akan bisa menjelaskan kebijakan-kebijakannya benar atau salah? Contoh lainnya, layakkah sebuah kelompok politik bergabung dengan kelompok-kelompok politik lainnya hanya karena gabungan angka elektoralnya pasti menang?
Kita tidak dapat mengesampingkan bahwa kuantifikasi politik lahir sebagai teknologi kekuasaan. Para pionirnya di Amerika Serikat memang bercita-cita untuk dapat mendengar suara-suara dari silent majority dengan metode-metode ilmiah, sehingga dapat memberi masukan ke dalam proses pengambilan kebijakan. Artinya, kuantifikasi politik menjadi subordinat dari kekuasaan yang diasumsikan sudah tegak.
Perlunya Cara Baru Berpolitik
Tampaknya, imajinasi politik yang kini dapat dibangun untuk mengobati kehidupan politik Indonesia adalah imajinasi atas adanya cara berpolitik di luar cara-cara yang tersedia selama ini. Kebuntuan-kebuntuan akan terus berlanjut dan bermunculan jika rakyat terus dibiarkan digiring mengikuti pakem berpolitik yang ditegakkan oleh elit dan teknokrat.
Mengamati perkembangan wacana seputar Pemilu 2009, setidak-tidaknya terdapat tiga simptom sebuah penyakit yang kini menjangkiti dunia politik Indonesia, baik dari sisi akademik maupun sisi praksis. Jika boleh dikatakan, penyakit ini bernama kemiskinan imajinasi politik.
Pertama, hingga saat ini pembahasan atas tingginya angka golput, sebesar 49,6 juta pemilih menurut KPU, masih bermuara pada “golput substantif” dan “golput administratif”. Selain penuntutan terhadap KPU atas hilangnya hak contreng dan pendaftaran ulang pemilih, pendiskusian tentang bagaimana meningkatkan partisipasi politik elektoral maupun pasca pemilu begitu marjinal.
Kedua, dalam mengkritisi tingkah polah elit politik, nuansa moral dan ideal begitu kental dalam wacana “politisi versus negarawan”. Para komentator politik tampaknya lebih suka membahas harapan-harapan yang sebenarnya normatif dibandingkan mengajukan alternatif-alternatif yang tersedia yang dapat diambil oleh masyarakat.
Ketiga, ditengah semrawutnya sistem pemilu dan partai politik Indonesia, kini juga berkembang wacana mengenai penyederhanaan jumlah partai politik. Setelah 11 tahun reformasi, cukuplah menyedihkan jika sebagian akademisi, tua dan muda, kembali ke dalam pemikiran politik teknokratik Orde Baru.
Akibat Kemiskinan Imajinasi
Sebuah imajinasi politik yang diterima luas dapat memberikan orientasi kepada berbagai pengelompokkan masyarakat untuk melalui transisi sosio-politik seperti yang kini dialami Indonesia sejak 11 tahun silam. Bayangan atas sistem baru yang membawa kualitas baru kehidupan politik, impian yang bergerak lebih jauh dari hal-hal normatif seperti keadilan sosial ataupun kesejahteraan akan membuka jalan ke arah hal-hal yang lebih substantif dan terasa dibandingkan perang jargon dan cap yang kini terjadi. Pengalaman di negeri-negeri lain, seperti halnya belakangan terjadi pada pemilihan presiden AS, menunjukkan partisipasi dan komitmen politik meningkat di saat kuatnya imajinasi politik bahkan di tingkat akar-rumput.
Pemilu 1999 di satu sisi menunjukkan partisipasi politik berkaitan erat dengan imajinasi politik atas “demokrasi”. Demam berpolitik dan berorganisasi menjangkiti hampir semua pengelompokkan masyarakat.
Namun alih-alih bergerak lebih dalamnya demokratisasi ke hal-hal seperti mekanisme-mekanisme partisipatoris yang substansial, 11 tahun proses tersebut dengan mudah ditelikung oleh teknokrasi dan elit politik yang sebelumnya telah memiliki teknologi kekuasaan yang canggih untuk membatasi demokrasi hingga tidak mengganggu kepentingannya.
Contoh-contoh dari pembatasan ini cukup banyak. Ide-ide partisipatoris yang menjadi impian Reformasi kini menjadi sistem Musrenbang yang begitu menjelimet dengan diagram alir yang begitu panjang. Perbincangan mengenai mutu pendidikan nasional yang menjadi pilar bangsa direduksi menjadi persoalan quota anggaran belanja pendidikan. Peran negara dalam kesejahteraan sosio-ekonomi rakyatnya begitu dipangkas hingga menjadi seperangkat jargon dan program-program kuratif seperti UKM, BLT, dan PNPM, yang peran maksimalnya hanya mengurangi dampak gilasan rentetan krisis kapitalisme global.
Pilar-Pilar Kemiskinan Imajinasi
Tampaknya, beberapa faktor memberikan sumbangan cukup besar ke dalam miskinnya imajinasi politik di Indonesia.
Faktor pertama adalah tidak disadarinya bahwa kondisi depolitisasi warisan Orde Baru masih terus berlanjut. Melorotnya perolehan suara partai-partai lama dengan drastis dan melonjaknya perolehan partai-partai baru dalam tiga pemilu terakhir (1999, 2004, dan 2009) menunjukkan bahwa para pemilih dalam keadaan mengambang dan menentukan preferensi politiknya menjelang pemilu dalam hubungan yang lebih bersifat transaksi cash and carry, ketimbang komitmen politik dengan konstituen. Dalam pemilu yang transaksional ini, suara dapat ditukar dengan uang puluhan ribu rupiah ataupun harapan hasil politik pencitraan.
Depolitisasi ini juga ditopang oleh sikap “harga mati”, yang diikuti dengan tindakan intimidasi dan pemberangusan seperti pembakaran/sweeping buku. Akibatnya, perbincangan yang lebih substansial menjadi buntu. Tengok saja persoalan pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu ataupun diskusi mengenai sistem kekuasaan federal.
Faktor kedua, di tengah-tengah mandeknya perjalanan demokratisasi, keinginan untuk regularisasi kehidupan berpolitik juga cukup terasa. Representasinya adalah kata-kata “stabilitas politik” dan “kebablasan”. Periode transisi memang selalu bergejolak karena berbagai pengelompokkan sosial politik, termasuk di dalamnya anggota-anggota aparatus negara, bermanuver dan bernegosiasi untuk memperoleh posisi dalam pencarian kesetimbangan baru. Namun gejolak-gejolak tersebut tidak dilihat sebagai tantangan yang harus diatasi untuk menuju kualitas baru. Malahan, beberapa kalangan yang mendambakan regularisasi perpolitikan menganggap bahwa stabilitas, kontinuitas, dan governability, adalah hal yang utama.
Karena banyak orang yang berharap akan regularisasi, upaya-upaya membuat gebrakan politik menjadi minimal. Konsekuensinya cukup dalam. Dari sisi kualitas, nuansa dua kali pemilu kita begitu hambar dan membosankan. Hingar bingar secara superfisial dan harus ditambah perdebatan yang banal (seperti keajaiban tuduhan neoliberal belakangan ini), namun hampa akan gerakan politik dan ide politik yang bernas. Lalu apa gunanya pemilihan umum yang mahal jika tidak ada kemajuan kualitatif dalam pemerintahan berikutnya?
Faktor ketiga, yang merupakan kulminasi dari dua lainnya, adalah begitu dominannya kuantifikasi dalam menganalisa dinamika politik. Bukan bermaksud mengesampingkan peran penting survey ataupun polling, tapi masalahnya adalah kenaifan berpikir yang meletakkan bahwa angka bisa menjelaskan segalanya ataupun menjadi landasan utama dari tindakan politik. Apakah angka penerimaan masyarakat terhadap seorang presiden akan bisa menjelaskan kebijakan-kebijakannya benar atau salah? Contoh lainnya, layakkah sebuah kelompok politik bergabung dengan kelompok-kelompok politik lainnya hanya karena gabungan angka elektoralnya pasti menang?
Kita tidak dapat mengesampingkan bahwa kuantifikasi politik lahir sebagai teknologi kekuasaan. Para pionirnya di Amerika Serikat memang bercita-cita untuk dapat mendengar suara-suara dari silent majority dengan metode-metode ilmiah, sehingga dapat memberi masukan ke dalam proses pengambilan kebijakan. Artinya, kuantifikasi politik menjadi subordinat dari kekuasaan yang diasumsikan sudah tegak.
Perlunya Cara Baru Berpolitik
Tampaknya, imajinasi politik yang kini dapat dibangun untuk mengobati kehidupan politik Indonesia adalah imajinasi atas adanya cara berpolitik di luar cara-cara yang tersedia selama ini. Kebuntuan-kebuntuan akan terus berlanjut dan bermunculan jika rakyat terus dibiarkan digiring mengikuti pakem berpolitik yang ditegakkan oleh elit dan teknokrat.
* Sebuah pengantar untuk diskusi Asikbaca (kelompok pembaca di Banda Aceh)
MoU Helsinki membawa sebuah dampak perluasan demokrasi di Indonesia. Untuk pertama kali sejak demokrasi parlementer ditutup oleh dekrit presiden 1959, partai lokal kembali mewarnai politik negara ini.
Meski hanya dibuka di Aceh, partai lokal setidaknya membuka kesempatan untuk aktor-aktor politik yang sebelumnya bermain di luar pertarungan elektoral di Aceh. Jika sebelumnya pilkada Aceh telah dimenangkan oleh kandidat independen, yang sebelumnya di luar jejaring oligarki warisan ORBA, partai lokal di Aceh membawa lebih banyak lagi aktor yang sebelumnya ekstra parlementer (dan bermakna di luar oligarki) namun sekaligus juga komponen oligarki yang melakukan reposisi elektoral.
Dalam kacamata studi geopolitik, sebagai studi atas pertarungan antar kekuasaan pada sebuah wilayah dan perebutan pengaruh atas populasi yang hidup di sana, pergulatan partai lokal akan menjadi observasi yang menarik. Bukan karena unsur kebaruannya, tetapi karena potensinya dan antusiasme aktor lokal, termasuk yang berasal dari komponen oligarki. Hasil pertarungan sementara dari Pilkada 2006, kandidat independen (baca:GAM-SIRA) memenangkan 8 dari 20 kabupaten/kota di Aceh. Apakah Pilkada Aceh 2006 akan menjadi pola untuk Pemilu 2009?
Beberapa pertanyaan yang dapat menjadi poros diskusi sehubungan partai lokal di Aceh:
1. Saat ini terdapat 6 partai lokal di Aceh. Jika Partai Aceh, Partai SIRA, dan PRA merupakan berasal dari komponen-komponen perjuangan rakyat Aceh berhadapan “politik NKRI” yang sebelumnya mengorbit di luar jejaring oligarki nasional, maka PAAS, PBA, dan PDA diwarnai oleh komponen-komponen yang sebelumnya berada dalam jejaring oligarki nasional (antara lain dari PAN dan PPP). Sejauh manakah aktor baru dan komponen oligarki nasional akan melibatkan partisipasi rakyat?
2. Jika “ke-Aceh-an” adalah mata uang dari partai-partai ini, akan bagaimanakah pergulatan antar partai-partai lokal ini dalam memenangkan diri mereka sebagai representan dari Aceh? Kendaraan ide apakah yang akan dikedepankan untuk meraih suara, di luar metode “tradisional” Orde Baru (uang dan intimidasi)?
3. Karena sementara ini masih terlalu dini untuk mengukur kinerja dan prestasi aktor-aktor lokal non oligarki (baru 1 tahun setelah Pilkada dan Pemilu 2009 belum dimulai), apakah kita bisa melirik sejenak ke pengalaman negeri-negeri lain yang mempraktekan sistem kepartaian dengan partai lokal?
taken from :
http://geopolitik.org/
MoU Helsinki membawa sebuah dampak perluasan demokrasi di Indonesia. Untuk pertama kali sejak demokrasi parlementer ditutup oleh dekrit presiden 1959, partai lokal kembali mewarnai politik negara ini.
Meski hanya dibuka di Aceh, partai lokal setidaknya membuka kesempatan untuk aktor-aktor politik yang sebelumnya bermain di luar pertarungan elektoral di Aceh. Jika sebelumnya pilkada Aceh telah dimenangkan oleh kandidat independen, yang sebelumnya di luar jejaring oligarki warisan ORBA, partai lokal di Aceh membawa lebih banyak lagi aktor yang sebelumnya ekstra parlementer (dan bermakna di luar oligarki) namun sekaligus juga komponen oligarki yang melakukan reposisi elektoral.
Dalam kacamata studi geopolitik, sebagai studi atas pertarungan antar kekuasaan pada sebuah wilayah dan perebutan pengaruh atas populasi yang hidup di sana, pergulatan partai lokal akan menjadi observasi yang menarik. Bukan karena unsur kebaruannya, tetapi karena potensinya dan antusiasme aktor lokal, termasuk yang berasal dari komponen oligarki. Hasil pertarungan sementara dari Pilkada 2006, kandidat independen (baca:GAM-SIRA) memenangkan 8 dari 20 kabupaten/kota di Aceh. Apakah Pilkada Aceh 2006 akan menjadi pola untuk Pemilu 2009?
Beberapa pertanyaan yang dapat menjadi poros diskusi sehubungan partai lokal di Aceh:
1. Saat ini terdapat 6 partai lokal di Aceh. Jika Partai Aceh, Partai SIRA, dan PRA merupakan berasal dari komponen-komponen perjuangan rakyat Aceh berhadapan “politik NKRI” yang sebelumnya mengorbit di luar jejaring oligarki nasional, maka PAAS, PBA, dan PDA diwarnai oleh komponen-komponen yang sebelumnya berada dalam jejaring oligarki nasional (antara lain dari PAN dan PPP). Sejauh manakah aktor baru dan komponen oligarki nasional akan melibatkan partisipasi rakyat?
2. Jika “ke-Aceh-an” adalah mata uang dari partai-partai ini, akan bagaimanakah pergulatan antar partai-partai lokal ini dalam memenangkan diri mereka sebagai representan dari Aceh? Kendaraan ide apakah yang akan dikedepankan untuk meraih suara, di luar metode “tradisional” Orde Baru (uang dan intimidasi)?
3. Karena sementara ini masih terlalu dini untuk mengukur kinerja dan prestasi aktor-aktor lokal non oligarki (baru 1 tahun setelah Pilkada dan Pemilu 2009 belum dimulai), apakah kita bisa melirik sejenak ke pengalaman negeri-negeri lain yang mempraktekan sistem kepartaian dengan partai lokal?
taken from :
http://geopolitik.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar